Bukit Jenggolo: Dari Gotong Royong Warga Menjadi Surga di Atas Awan Lumajang

Lumajang (mediacenterlumajang.com) – Senja mulai merambat di langit Lumajang. Cahaya jingga menetes di pucuk-pucuk pinus, menyapu lembut lereng Bukit Jenggolo.
Dari sini, Gunung Semeru berdiri anggun, sementara lampu-lampu kota mulai berkelip di kejauhan. Keindahan ini bukan sekadar lukisan alam, tapi hasil kerja tangan warga Desa Wonokerto yang memelihara tanah, air, dan harapan mereka.
Bukit Jenggolo bukan lahir dari proyek besar atau investor kota. Ia lahir dari obrolan di balai desa, dari cangkul yang menembus tanah pekarangan, dari gotong royong yang menyatukan pemuda, petani, hingga para ibu rumah tangga.
“Ini luar biasa ya, Semeru kelihatan dan ada city light,” kata Bupati Lumajang, Indah Amperawati (Bunda Indah) saat meresmikan kawasan wisata ini, Selasa (5/8/2025). Ia tersenyum lebar, matanya tak lepas memandang cakrawala yang membentang di depan gardu pandang.
Di balik pemandangan indah ini, ada niat besar: menjadikan wisata bukan hanya tempat foto-foto, tapi juga sumber hidup.
Kepala Desa Wonokerto, Tupin, bercerita bahwa kolam ikan di kaki bukit, kebun sayur di lereng, dan warung sederhana di pinggir jalur trekking semuanya dimiliki dan dikelola warga.
“Kami tidak hanya ingin membuat tempat wisata, tapi juga menjadikan tempat ini sebagai sumber pangan dan pendapatan,” ujarnya.
Proses membangunnya pun sederhana namun penuh makna. Dana desa dipakai secukupnya, sisanya hasil kerja bakti.
Warga membuat jalur setapak, membersihkan semak, menata batu sebagai pembatas, bahkan merakit sendiri gardu pandang dari kayu yang ada. Hasilnya adalah destinasi yang alami, otentik, dan terasa seperti bagian dari rumah sendiri.
Bukit Jenggolo bukan hanya untuk pelesiran. Setiap akhir pekan, anak-anak sekolah diajak trekking sambil belajar mengenal tanaman, memahami pentingnya air, hingga menjaga hutan.
Ada pula zona edukasi yang mengajarkan cara bercocok tanam sederhana.
Pengunjung bisa memilih mau memancing ikan di embung, mencicipi pecel sayur buatan ibu-ibu desa, atau menunggu senja di gardu pandang sambil menyeruput kopi robusta dari kebun sekitar.
Malam hari, tenda-tenda berdiri di rerumputan, dan city light Lumajang terlihat seperti lautan bintang di bawah kaki.
Kawasan ini hanya buka Jumat hingga Minggu. Bukan karena malas menerima tamu, tapi karena warga memberi waktu bagi alam untuk beristirahat. Pohon-pohon butuh napas, tanah perlu menyerap kembali air hujan, dan warga punya waktu mengurus kebun serta keluarga.
Bagi Erna, seorang ibu rumah tangga yang kini mengelola warung di area wisata, Bukit Jenggolo adalah perubahan nyata dalam hidupnya.
“Dulu saya cuma di rumah, sekarang bisa bantu ekonomi keluarga. Tapi yang paling penting, tempat ini bikin kami bangga,” ucapnya sambil merapikan piring di mejanya.
Bukit Jenggolo adalah kisah sederhana yang memberi pesan kuat bahwa desa bisa bangkit dengan kekuatannya sendiri. Ia mengajarkan bahwa keindahan bukan hanya milik tempat-tempat jauh, tapi juga bisa lahir dari halaman sendiri. Asal ada kemauan, kerja bersama, dan cinta pada tanah kelahiran.
Di ketinggian 850 meter, di antara Semeru dan langit jingga, Bukit Jenggolo berdiri sebagai bukti bahwa mimpi desa bisa terwujud. Sebuah surga di atas awan, lahir dari hati dan tangan warga Wonokerto. (may)