Apa Itu Sound Horeg? Ini Asal Muasal dan Kontroversinya

Lumajang (mediacenterlumajang.com) – Fenomena sound horeg telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sebenarnya, apa itu sound horeg?
Bagaimana asal-usulnya, dan mengapa fenomena ini begitu kontroversial? Mari kita ulas secara mendalam.
Apa Itu Sound Horeg?
Sound horeg adalah istilah yang merujuk pada penggunaan sistem suara (sound system) berukuran besar dengan volume tinggi yang menghasilkan getaran kuat. Sehingga mampu mengguncang lingkungan sekitar.
Kata “horeg” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “bergerak”, “bergetar”, atau bahkan “berguncang”, sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) oleh Kemendikbud dan jurnal akademik karya Harly Yoga Pradana.
Secara harfiah, sound horeg dapat diartikan sebagai “suara yang membuat bergetar”.
Sistem audio ini biasanya terdiri dari rangkaian subwoofer dan amplifier berkualitas tinggi yang dipasang di atas truk atau kendaraan besar, sering dihiasi lampu warna-warni dan diiringi penari latar atau DJ.
Sound horeg kerap digunakan dalam acara karnaval, pawai, perayaan desa, hajatan, hingga acara keagamaan seperti takbir keliling. Musik yang dimainkan umumnya bergenre elektronik atau *remix*, meskipun ada pula yang memadukan unsur tradisional seperti jaranan atau dangdut.
Asal-Usul Sound Horeg
Meskipun belum ada catatan pasti mengenai kapan sound horeg pertama kali muncul, fenomena ini mulai dikenal luas sekitar tahun 2014 di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Menurut beberapa sumber, sound horeg terinspirasi dari konsep diskotik di kota-kota besar seperti Jakarta.
Seorang warga Malang memiliki ide untuk membawa hiburan serupa ke desa dengan nuansa yang lebih merakyat. Awalnya, sistem suara besar ini digunakan untuk keperluan sederhana seperti pengumuman, selawatan, atau hiburan lokal pada era 2000-an. Namun, seiring waktu, apa itu sound horeg berevolusi menjadi atraksi utama dalam karnaval dan festival.
Puncak kepopuleran sound horeg terjadi menjelang pandemi Covid-19 sekitar tahun 2019, meskipun sempat meredup selama dua tahun akibat pembatasan sosial.
Pasca-pandemi, fenomena ini bangkit kembali, didorong oleh kerinduan masyarakat akan hiburan di luar ruangan. Komunitas seperti Sound Malang Bersatu, yang berdiri sejak 2017, turut memperkuat eksistensi sound horeg. Dari hanya 11 anggota, komunitas ini kini memiliki sekitar 1.200 anggota yang aktif sebagai penggiat dan penyedia jasa sewa sound horeg.
David Stevan Laksamana, ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu, mencatat adanya pergeseran tren sejak 2015. Jika dahulu karnaval menonjolkan tarian atau pengiring tradisional, kini sound system menjadi bintang utama, dengan penari dan talent lain sebagai pelengkap.
Fenomena ini juga menyebar ke wilayah lain seperti Banyuwangi, Sidoarjo, Surabaya, Lumajang, hingga Pati, menjadikan sound horeg sebagai bagian dari subkultur hiburan di Jawa Timur dan sekitarnya.
Kontroversi Sound Horeg
Meskipun digemari sebagai hiburan yang meriah, apa itu sound horeg menuai banyak kontroversi karena dampak negatif yang ditimbulkannya. Berikut adalah beberapa isu utama yang memicu pro dan kontra:
1. Polusi Suara dan Gangguan Kesehatan
Suara sound horeg yang sangat keras dianggap sebagai polusi suara oleh sebagian masyarakat. Menurut dr. Arne Laksmiasanti, dokter spesialis THT, paparan suara 135 desibel dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen (noise-induced hearing loss).
2. Kerusakan Infrastruktur
Getaran kuat dari sound horeg terbukti merusak bangunan. Ada banyak kasus kerusakan infrastruktur karena apa itu sound horeg.
Misalnya, kerusakan beberapa rumah warga karena suara yang terlalu keras. Ada juga kerusakan jembatan karena memang dirusak secara sengaja oleh pemilik, supaya truk sound horegnya bisa melintas.
3. Konflik Sosial
Sound horeg sering memicu ketegangan di masyarakat. Salah satu kasus viral terjadi di Pati, Jawa Tengah, pada Agustus 2024, ketika seorang ibu bernama Sukati hampir dikeroyok setelah memprotes kebisingan sound horeg di karnaval. Video protesnya menyebar luas di media sosial, memperlihatkan ketegangan antara penggemar sound horeg dan warga yang merasa terganggu.
4. Penggunaan yang Tidak Tepat
Penggunaan sound horeg dalam acara keagamaan, seperti takbiran, menuai kritik. M Sholah Ulayya, tokoh agama dari Sidoarjo, menyoroti bahwa persaingan untuk menghasilkan suara paling keras justru mengurangi kekhidmatan acara. Banyak yang merasa sound horeg lebih cocok untuk hiburan sekuler daripada ritual keagamaan.
Upaya Pemerintah dalam Pemberian HAKI untuk Sound Horeg
Pada April 2025, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Jawa Timur mengusulkan pemberian Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk sound horeg sebagai bentuk pengakuan atas karya anak bangsa.
Kepala Kanwil Kemenkumham Jatim, Haris Sukamto, menyatakan bahwa sound horeg merupakan hasil olah pikir kreatif yang memiliki potensi untuk dilindungi dalam kategori hak cipta atau hak desain industri.
“Sound horeg adalah sebuah nama dari hasil olah pikir karya anak bangsa. Itu masuk di wilayah kekayaan intelektual, hak cipta bisa, desain industrinya dapat. Kan itu ada komponen, ada kesistemannya di sana,” ujar Haris dalam Press Release Capaian Kinerja Triwulan I 2025 di Surabaya, 21 April 2025.
Namun, usulan ini menuai protes dari sebagian warganet yang menilai sound horeg lebih banyak menimbulkan dampak negatif, seperti polusi suara dan gangguan ketertiban, sehingga tidak layak mendapat HAKI.
Kesimpulan
Sound horeg adalah fenomena budaya yang unik, lahir dari kreativitas masyarakat Malang dan berkembang menjadi hiburan populer di Pulau Jawa. Namun, di balik kepopuleran apa itu sound horeg, fenomena ini juga memicu kontroversi karena dampak negatifnya terhadap kesehatan, lingkungan, dan ketertiban sosial.
Baca juga: Bunda Indah Mulai Sounding ke Pusat soal Program Pembangunan dari Dusun