Grebeg Suro di Kaki Semeru: Doa, Sayur, dan Harapan yang Dilempar ke Langit

Lumajang (mediacenterlumajang.com) – Di tengah semilir angin Hutan Bambu yang sejuk dan damai, Sumbermujur berubah jadi panggung budaya. Jumat (27/6/2025), desa ini punya gawe besar: Grebeg Suro. Bukan sekadar seremoni, tapi juga ritual syukur yang disulap jadi pesta rakyat penuh warna.
Bayangkan 26 gunungan hasil bumi – isinya sayur, buah, panenan warga – diarak meriah.
Ada tarian Oleng. Ada doa dari sesepuh. Semua menyatu, menyampaikan pesan yang tidak diucapkan, tapi terasa dalam hati: ini tentang syukur, tentang menjaga alam, dan tentang kebersamaan yang tak tergantikan.
“Gunungan ini doa yang dibentuk pakai tangan dan semangat gotong royong,” kata Yayuk Sri Rahayu, Kepala Desa Sumbermujur, yang juga ikut berbaur dengan warga.
Tiap lemparan sayur bukan cuma hiburan, tapi lambang berbagi rezeki. Tentang bagaimana rakyat kecil tetap bisa memberi, meski sederhana.
Suasana yang awalnya khidmat, langsung berubah riuh saat doa usai. Warga berebut isi gunungan. Bukan rakus, tapi penuh tawa. Katanya, kalau dapat satu sayur saja, bisa jadi berkah buat rumah.
Uniknya, yang datang bukan cuma warga lokal. Turis luar negeri juga mulai berdatangan.
Ada Jhuri Romadhon, turis dari Kuba, yang sampai terharu.
“Ini refleksi unik antara manusia, alam, dan nilai harmoni,” katanya. Entah benar paham, atau terbawa suasana. Tapi jelas, dia terpukau.
Tradisi ini memang punya daya magis. Satu Muharram di kaki Gunung Semeru bukan cuma penanda tahun baru Islam. Tapi juga pengingat bahwa hidup yang selaras dengan alam, menjaga budaya, dan saling bantu adalah warisan paling berharga.
Grebeg Suro bukan masa lalu. Ia adalah masa kini yang terus tumbuh, dan bisa jadi masa depan jika dirawat dengan hati.
Dan siapa sangka, dari desa kecil di Candipuro, tradisi ini bisa jadi destinasi spiritual yang bikin dunia menoleh.
“Ini cara kita mengajarkan anak-anak soal akar budaya dan cinta tanah kelahiran,” tutup Bu Kades, masih dengan senyum dan mata berbinar. (may)